RT60 untuk studio
Reverb Time
(RT) didefinisikan secara umum sebagai “waktu yang dibutuhkan oleh suara untuk
menghilang sepenuhnya”. Pengukuran yang biasa digunakan adalah RT60, yaitu
waktu yang dibutuhkan hingga suara berkurang 60dB.
RT yang
ideal bervariasi tergantung ukuran dan material ruangan. Tetapi umumnya adalah
0,3 detik. Di dalam studio, RT untuk pidato yang baik adalah berkisar 0,2-05
detik, sedangkan untuk musik klasik sebaiknya berkisar 0,6-0,8 detik..
Dalam desain
studio, sebaiknya RT frekuensi mid sekitar 0,3 detik. Sedangkan untuk frekuensi
low dan high boleh lebih panjang sedikit. – Paul White
Speaker box
dengan dinding non-paralel (berhadapan tegak lurus) memiliki masalah yang lebih
sedikit dibandingkan dengan yang berbentuk persegi sempurna. Tetapi para
pembuat box menyukai box paralel karena penanganan dan konstruksinya lebih
mudah.
Bila harus membuat box dalam bentuk persegi sempurna, maka gunakan rasio
perbandingan dimensi box 0,62 : 1 : 1,62. Rasio ini adalah “RASIO EMAS” sejak
jaman purba. Rasio ini memastikan bahwa semua gelombang frekuensi suara akan
beresonansi sempurna di dalam box. – KBapps.com
Speaker
memproduksi beragam gelombang suara dengan bergerak 60 kali maju mundur
per-detik untuk menghasilkan frekuensi rendah, hingga 20.000 kali maju mundur
per-detik untuk menghasilkan frekuensi tinggi.
Ini adalah
kerja keras yang luar biasa, tetapi speaker melakukannya setiap kali memainkan
musik. Alat yang mengatur kerja speaker agar bergerak cepat dan bergerak lambat
adalah driver. Itu sebabnya mengapa boks speaker dilengkapi driver spesialis
treble untuk menggerakkan tweeter, dan driver spesialis bass untuk menggerakkan
sub-woofer. Jadi pekerjaan utama cross-over (X-over) adalah membagi-bagi
frekuensi dan mengirimkannya ke driver yang sesuai.
Tetapi
X-over bekerja lebih lagi. Driver speaker membutuhkan banyak bantuan. Mereka
sensitif terhadap beberapa frekuensi, sehingga proses ekualisasi (EQ) akan
sangat bermanfaat bagi mereka. Tweeter juga lebih sensitif dari woofer dan
butuh di-seimbangkan (balance) dengan woofer agar tidak terlalu keras. Karena
itu, tugas kedua X-over adalah untuk memanipulasi sinyal yang dikirimnya ke
driver sehingga :
-Sinyal
dalam frekuensi sesuai dengan tiap driver sehingga suara yang dihasilkan
maksimal
-Driver-driver
yang berdekatan berbagi tugas dengan sesuai (tweeter tidak mengambil jatah
frekuensi woofer, woofer tidak mengambil jatah frekuensi sub-woofer, dst.)
-Output
driver yang berbeda-beda diseimbangkan sehingga menghasilkan kekerasan sama.
Masih ada
lagi ! X-over mempengaruhi timing (waktu) bunyi driver sehingga sesuai dengan
bunyi driver lainnya. Sungguh sebuah kerja keras ! - www.aperionaudio.com
Crossover
membentuk sejumlah frekuensi untuk tiap driver speaker dengan tiga jenis filter
: Kapasitor, Koil (Induktor) dan Resistor. Mari kita lihat apa kerja
masing-masing filter ini.
Resistor :
Bila ampli mengirim 10 watt power ke 8 ohm tweeter, dan kita menempatkan 8 ohm
resistor secara seri di antaranya, maka power yang tiba di tweeter hanyalah 2,5
watt. Karena dengan resistor seri @ 8 ohm, maka tegangan akan menurun jadi 5
watt. Kemudian power sebesar 2,5 watt akan digunakan oleh resistor, jadi
tweeter hanya mendapatkan sisa tenaga 2,5 watt dari sumber 10 watt power ampli.
Sudah jelas kekerasan akan berkurang 6 dB (Ingat rumus : bila daya berkurang
separuh, maka terjadi penurunan 3 dB).
Kapasitor
dan Induktor : Sebuah kapasitor yang ditempatkan secara seri dengan speaker,
akan memblokir frekuensi rendah dan melewatkan frekuensi tinggi. Sebuah
induktor berfungsi sebaliknya. Blokir frekuensi akan terjadi secara
berangsur-angsur (roll-off) dalam bentuk penurunan 6dB/oktaf (1st
order), 12dB/oktaf (2nd order), atau 3rd order (18
dB/oktaf), atau yang curam 4th order (24 dB/oktaf). Karakter
penurunan ini dibedakan atas jenis Bessel, Butterworth, Linkwitz-Riley.
Butterworth terkenal lembut, Linkwitz-Riley memotong tajam, sedangkan Bessel
memiliki karakter phase-shift yang unik
Desain
crossover bukanlah hal yang mudah. Sangat-sangat sulit. Tetapi ingat rahasia
utama para desainer speaker “Bukan teori yang penting, tetapi bunyi speaker
yang penting”. Desainer bermain-main dengan berbagai tombol crossover hingga
menghasilkan bunyi yang diinginkan. Walaupun demikian, pengetahuan teori juga
mempengaruhi kelihaian bermain-main ini. Tetapi proses utamanya adalah secara
berulang-ulang “memainkan tombol - mendengarkan” hingga speaker kita mendapat
acungan jempol - aperionaudio.com dan ASG EAW.com
RMS (Root
Mean Square) dan PMPO (Peak Music Power Output) sama-sama menunjukkan power
rating, namun keduanya tidak dapat diperbandingkan. Selain tidak ada standard
pengukuran PMPO yang baku, metode pengukurannya juga berbeda-beda.
Namun sebagai
ancar-ancar biasanya power PMPO adalah mark up 20 sampai 40 kali lebih
besar dibandingkan power RMS. Jika tertulis 1000 W PMPO bisa saja power
sebenarnya sama dengan 25 W - 50 W RMS.
Pencantuman
power rating tentu saja untuk menunjukkan sampai dimana kemampuan tingkat
kebisingan yang bisa dihasilkan. Tentu ini hanyalah sebuah angka yang
menunjukkan kemampuan maksimum perangkat audio tersebut.
Jika
dianalogikan dengan mobil, ini tidak beda dengan catatan spesifikasi kecepatan
yang tertera dapat mencapai 220 km/jam. Namun apakah kecepatan maksimum
demikian bisa tercapai, adalah hal yang lain. Tentu bisa tercapai dengan syarat
kondisi-kondisi tertentu. Jalan aspal lebar dan mulus, tidak ada tanjakan,
mesin masih baru, bahan bakar dengan oktan tinggi, oli yang tepat, grip serta
tekanan ban ideal, suhu mesih ideal, berat mobil efisien, ringan dan ideal,
lalu cuaca harus cerah, tidak ada angin apalagi hujan dan yang penting lagi
pengemudinya harus punya nyali sekelas pembalap formula 1. Kalau tidak, mobil
paling pol dapat dipacu mencapai 140 km/jam dan ini juga sebenarnya
sudah mendebarkan.
Demikian
juga dengan sistem audio, dengan volume yang sedang-sedang saja dengan alunan
yang harmonis kiranya anda sudah cukup puas. Belum tentu anda tega meng-umbar
volume audio anda sekencang-kencangnya sampai kaca-kaca jendela rumah anda
pecah semua – disadur dari www.audiorakitan.com
Subwoofer
elektrostatik dikembangkan pertama kali tahun 1960 an oleh Ken Kreisel, untuk
mengatasi komplain pelanggan di toko high end “Miller Kreisel (MK)” yang
dimilikinya bersama Jonas Miller di Los Angeles. Para pelanggan komplain karena
mereka merasa kehilangan nada-nada rendah di speaker elektrostatik buatan MK.
Penggunaan
subwoofer untuk rekaman pertama kali dilakukan tahun 1973 dalam mixing album
Steely Dan “Pretzel Logic” dengan operator Roger Nichols. Subwoofer dipesan
oleh Walter Becker dan Donald Fagen dari tim Steely Dan. Sejak saat itu
Sattelite Subwoofer MK laris dipesan banyak studio rekaman dan digunakan
sebagai sistem referensi utama studio. Beberapa pelanggan sistem audio MK sistem
audio adalah rumah produksi audio film Dolby, DTS, dan THX.
Subwoofer
biasanya menampilkan nada 20 – 200 Hz melalui cone speakernya. Pemisahan stereo
sangat sulit didengarkan di subwoofer karena karakter nada low yang
omni-directional. Itu sebabnya Audio System biasanya hanya menjual satu
subwoofer + beberapa speaker mid high. Nada low hanya bisa terasa terpisah
dalam bentuk earphone - MKsoundsystem. com dan cramster.com
Ini sebuah
pertanyaan yang populer dan sulit dijawab dengan sangat tepat. Ada banyak
faktor berpengaruh seperti : power amplifier, jenis, dan ukuran box speaker.
Tetapi secara umum, dengan power yang cukup, dua buah akan berbunyi lebih
jernih dan menonjok lebih kuat karena kombinasi dua cone akan menghasilkan
tekanan udara lebih besar. Bagaimanapun juga, sub 21 inch akan bersuara lebih
deep (dalam) – Bill Crutchfield
Speaker
Double Voice Coil (DVC) adalah speaker dengan 2 gulungan coil di atas former
yang sama. Mereka diletakkan saling bertumpang-tindih dengan terminal yang
berbeda.
Keuntungan
utama speaker DVC adalah semata-mata di fleksibilitas pemasangan kabelnya.
Speaker DVC memiliki alternatif instalasi seri, paralel, dan independen.
Speaker DVC
lebih banyak digunakan di sistem Car/Home audio karena kebanyakan amplifier
audio tipe ini tidak dapat monobridge. Jadi kekuatan ampli dapat disatukan di
monobridge melalui instalasi speaker DVC.
Keuntungan
lainnya adalah speaker dapat diubah-ubah hambatannya. Bila tadinya speaker SVC
(Single Voice Coil) hambatannya 8 ohm, maka di speaker DVC (masing-masing Coil
4 ohm) dapat diubah jadi 2 ohm (bila sistem kabel paralel) atau menjadi 8 ohm
(bila sistem kabel seri).
Dengan dimungkinkannya
fleksibilitas kabel dan hambatan ini, maka kini dimungkinkan untuk merangkai
beberapa speaker menjadi satu dengan power yang sama, sehingga didapatkan
performa speaker yang lebih baik – JL Audio Inc.
Sistem
Surround sudah ada lebih dari 60 tahun. Jaman tahun 1930an film selalu
menggunakan 3 channel tabir suara (Left-Center-Right) hasil riset Bell Labs.
Pada tahun 1941 Disney dalam film Fantasia nya menyajikan tambahan speaker di
belakang. Jadi ada 4 speaker sekarang.
Sistem 4 channel
LCRS (Left-Center-Right-Mono Surround) meluas penggunaannya setelah Dolby
Stereo menjadi sistem standar film tahun 1960an.
Dengan
berkembangnya teknologi digital di tahun 1980an, jumlah surround channel
ditambah jadi dua dan ditambah subwoofer LFE (Low Frequency Effect). Kini
semuanya menjadi 6 channel dengan sistem Surround 5.1. Di akhir 1990an, Sony
telah menciptakan sistem surround 7.1.
Dalam
surround system, semua speaker di low-cut pada 80 Hz. Sedangkan LFE di high-cut
pada 120 Hz dengan penambahan headroom 10 dB.
Keuntungan
sistem surround dibandingkan sistem stereo 2 speaker adalah : tidak ada lagi
yang dinamakan sweet-spot (titik dimana suara terdengar paling jelas dan enak).
Seluruh ruangan menjadi sweet-spot sekarang.
Selain itu, penempatan
speaker tidak lagi menjadi krusial. Di sistem stereo, pergeseran speaker
sedikit saja akan membawa banyak perbedaan. Hal ini tidak terjadi di sistem
surround – Bobby Owsinski “Mastering Handbook”
Frekuensi
yang berbahaya bagi telinga kita adalah 2 – 20 kHz. Bila kita mendengarkan
frekuensi tersebut dengan level di atas 100 dB SPL terus menerus selama lebih
dari 2 jam, maka kita dapat mengalami hearing loss (tuli).
Kita dapat
menghindari hal ini dengan cara mengukur SPL speaker kita. Masalahnya adalah,
angka dB SPL yang muncul di SPL meter kita biasanya adalah angka total jumlah
dB dari seluruh frekuensi yang muncul.
Jadi kita
harus mengetahui cara untuk mengetahui berapa total SPL yang dihasilkan oleh
frekuensi berbahaya (2 kHz ke atas) tersebut, agar terhindar dari hearing loss.
Untuk
menjawab hal ini, maka gunakan fasilitas WEIGHTING di SPL meter. Ada tiga macam
weighting : C weighting (mencakup frekuensi 20 Hz – 20 kHz), A weighting
(mencakup frekuensi 1 kHz ke atas), Z weighting atau Flat (mencakup seluruh
frekuensi).
Jadi, jangan
lupa mengukur SPL A weighting untuk mengetahui seberapa berbahaya nya
sound yang kita hasilkan – disadur dari artikel YP Hadi Sumoro Kristianto
Mana
berbunyi lebih baik ? Speaker A dengan tanggapan frekuensi (frequency response)
45 Hz – 18kHz atau speaker B 20 Hz – 25kHz ? Faktanya adalah, data di atas sama
sekali tidak cukup untuk menggambarkan kualitas suara speaker. Mari kita lihat
lebih detil.
Hal yang paling
penting dari speaker bukannya lebar tanggapan frekuensi nya, tetapi
kemampuannya untuk mereproduksi semua suara pada level yang persis sama seperti
waktu suara itu direkam. Anda pasti tidak mau sang speaker merubah mix suara
yang direkam. Suara tersebut akan berbunyi tidak natural di speaker tersebut.
Angka
tanggapan frekuensi akan berbicara lebih banyak bila juga menyertakan angka
toleransi kekerasan (Amplitude tolerance) seperti contoh “40Hz–20kHz, +/- 3dB”.
Angka ini memperlihatkan bahwa penyimpangan suara yang terjadi antar
frekuensi adalah 3 desibel dari angka rata-rata tengah. Artinya, bisa jadi
frekuensi 100Hz berbunyi 10dB, frekuensi 1kHz berbunyi 12dB, frekuensi 1,3kHz
13dB, 6,3kHz 8dB dst. Penyimpangan yang terjadi tidak melebihi 3dB atau +
3dB.
Speaker
dengan angka berikut “40Hz-20kHz, +/- 8dB” sudah jelas kalah flat
dibandingkan speaker di atas – Paul Dicomo
Banyak orang
bertanya : “Dapatkah speaker saya menggunakan power ampli ini ?” atau “Apakah
power ampli ini akan menjebol speaker saya ?”.
Faktanya
adalah setiap speaker dapat dibunyikan oleh amplifier apa saja. Masalah akan
timbul waktu sang pengguna menjadi terlalu bernafsu. Saat itulah si ampli
dipaksa berbunyi sekeras-kerasnya hingga suara clipping (terdistorsi).
Kecuali kita
mendengar speaker dari jauh, maka kita tidak akan dapat mendengar distorsi
clipping tersebut. Terutama sekali bila SPL kita diatas 90dB, maka telinga kita
akan overload dan tidak dapat mendeteksi adanya distorsi clipping.
Perlu kita
ingat bahwa 1 watt power mampu membunyikan speaker sebesar 88dB dalam jarak 1
meter (SPL = 88 dB). Bagaimana halnya dengan ampli 10 watt ? 50 watt ? atau 500
watt sekaligus ? Tentu kita tidak dapat mendengar distorsi clipping dalam watt
power sebesar itu.
Agar mudah
mendengar clipping, mainkan lagu kesayangan anda dan menjauh dari speaker. Bila
perlu, matikan subwoofernya. Maka anda akan dapat mendengar bunyi clipping
tersebut - Babin Perry
Berapa total
SPL yang dihasilkan oleh 2 buah speaker @ 60dB ?
2 buah
sumber suara koheren (serupa / identik) dengan SPL yang sama hanya akan
menghasilkan peningkatan 3 dB. Jadi jawaban pertanyaan di atas adalah 63 dB
untuk total SPL dua buah speaker tersebut.
Hal ini
terjadi karena penambahan SPL tidak bersifat linear seperti 1+1 = 2, tetapi
bersifat logaritmik. Rumus lengkapnya tercantum di artikel asli Bapak Hadi
Sumoro.
Dengan rumus
logaritma yang sama, maka bila sebuah speaker 65 dB dijumlahkan dengan speaker
88 dB, maka total SPL yang dihasilkan hanyalah 88 dB. Makin banyak perbedaan
SPL antara 2 speaker, akan menghasilkan makin sedikitnya penambahan. Perbedaan
10 dB akan didominasi oleh speaker yang lebih keras. - disadur dari
artikel YP. Hadi Sumoro Kristianto
Tahukah
anda, bahwa pada awalnya box speaker tidak mempunyai tutup di belakang nya ?
Adalah DR.
Harry Ferdinand Olson di akhir tahun 1930 an yang menganjurkan bahwa speaker
harus mempunyai tutup di belakang kabinetnya agar suara yang out-phase dari
belakang speaker tidak bercampur dengan suara dari depan speaker.
DR Olson
juga adalah orang pertama yang mengemukakan tentang efek speaker Line Array
yang dapat mengarahkan suara melalui perbanyakan frekuensi, dalam bukunya
Acoustical Engineering di tahun 1957.

Beliau juga
memegang lebih dari 100 hak paten penemuan di berbagai bidang di antaranya :
tahun 1931 Paten Velocity Microphone, 1932 Paten Unidirectional Cardioid
Microphone, 1935 Paten Double Voice Coil Loudspeaker, 1940 Paten Multiple Flare
Horn, 1941 Paten Shotgun Microphone, 1942 Paten Multiple Loudspeakers, 1949
Paten Air Suspension Loudspeaker, 1950 Paten Synthetic Reverberation, 1950
Paten Functional Sound Absorbers, 1951 Paten Single Element Cardioid
Microphone, 1953 Paten Noise Discriminator - Threshold Type, 1958 Paten
Electronic Music Synthesizer (MARK II Sound Syntesizer), 1961Paten Speech
Analyzer, 1961 Electronic Sound Absorber, 1961 Paten Music Composing Machine,
1963 Paten Stereophonic Loudspeaker, 1964 Paten Stereophonic Disk System, dan
banyak lagi.
DR. Olson
juga menulis lebih dari 130 artikel dan buku yang hingga sekarang tetap
dijadikan dasar pegangan ahli-ahli akustik. Diantaranya bukunya adalah Elements
of Acoustical Engineering (1940), Dynamical Analogies (1942), Musical
Engineering (1952), Acoustical Engineering (1957), dan Music, Physics and
Engineering (1966).
Terima kasih
DR. Olson atas jasamu di dunia audio engineering - Wikipedia dan
TECnology Hall of Fame 2005.
Dalam
praktek sehari-hari, biasanya speaker FOH (Front of House) ditempatkan di depan
penonton - di kanan kiri panggung. Alasan utamanya adalah untuk mendapatkan
efek stereo yang baik.
Tetapi efek
stereo bukanlah hal yang utama diinginkan dalam setting live musik. Alasannya
adalah karena penonton kita tersebar dimana-mana (off center : tidak di
tengah). Menjadikan FOH kita stereo berarti memperlakukan penonton di sebelah
kiri dan sebelah kanan secara berbeda / tidak adil. Lain halnya dengan musik
rekaman, maka sound stereo adalah hal yang wajib ditampilkan.
Mengapa FOH
tidak kita tempatkan di samping kiri dan kanan penonton saja ? Atau di belakang
penonton kiri dan kanan ? Untuk menjawab hal ini, maka kita harus pertama-tama
mengingat bahwa telinga lebih mengarah ke samping dibandingkan ke depan. Lain
halnya dengan mata, mata menghadap ke depan secara langsung.
Mengingat
posisi telinga kita seperti ini, maka kita dapat mempertimbangkan untuk
menempatkan speaker FOH di samping kanan dan kiri penonton agak ke depan.
Rasanya kualitas suaranya akan lebih baik daripada menempatkannya speaker FOH
di depan penonton.
Biasanya
feedback juga akan berkurang karena speaker jauh dari panggung. Coba saja –
JS
Bila kita
menyelidiki dengan menggunakan software sound system atau perhitungan
matematika, kita akan mendapati bahwa sebuah subwoofer akan menyebarkan bunyi
secara omni (rata ke segala arah) dan bukan directional (terarah hanya ke arah
tertentu).
Tetapi
kenyataan di lapangan sangat berbeda. Banyak pakar audio mendapati bahwa
telinga mereka menangkap radiasi bunyi secara omni tidak terjadi pada
subwoofer. Bunyi di belakang subwoofer berbeda dengan bunyi di samping atau di
depannya.
Mengapa hal
ini terjadi ? Karena adanya frekuensi harmonik. Kita ingat bahwa selalu terjadi
dua frekuensi dalam sebuah bunyi tunggal : frekuensi fundamental dan frekuensi
harmonic. Misalnya bunyi frekuensi tunggal 90Hz. Suara 90Hz akan menghasilkan
frekuensi fundamental 90Hz sekaligus bunyi frekuensi harmonik 180Hz, 270Hz,
360Hz dst (kelipatan 90). Jadi telinga kita akan mendengar beberapa frekuensi
sekaligus bila nada tunggal 90Hz dibunyikan.
Frekuensi
fundamental 90Hz tadi akan tersebar secara omni. Tetapi frekuensi harmonik akan
tersebar tidak secara omni. Bisa berbentuk cardioid atau lainnya. Hasilnya kita
akan mendengar bunyi yang berbeda di depan atau samping atau belakang subwoofer
– Jeff Berryman
Salah satu
karakteristik udara adalah menyerap energi frekuensi tinggi (high). Makin
tinggi frekuensi makin besar serapan udara. Karena itu, semakin jauh dari
speaker, kekerasan nada-nada high biasanya menurun (attenuate).
Serapan
frekuensi ini akan semakin meningkat bila suhu udara semakin panas atau
kelembaban udara semakin berkurang. Serapan frekuensi high ini tidak terlalu
terasa bila dalam ruangan (indoor) karena jarak tidak terlampau jauh. tetapi
akan sangat terasa di outdoor. Penelitian kami memperlihatkan bahwa frekuensi
10kHz berkurang 14dB pada jarak 91,4 meter.
Pesan kami :
jangan menaikkan volume frekuensi High bila hal ini terjadi. Menaikkan volume
akan memaksa amplifier dan speaker bekerja lebih keras. Untuk mengatasi hal
ini, gunakan speaker tambahan (speaker delay) di area yang kehilangan bunyi
High ini - ElectroVoice
Tidak ada komentar:
Posting Komentar