Rabu, 04 Desember 2013
RT60 audio
RT60 untuk studio
Reverb Time
(RT) didefinisikan secara umum sebagai “waktu yang dibutuhkan oleh suara untuk
menghilang sepenuhnya”. Pengukuran yang biasa digunakan adalah RT60, yaitu
waktu yang dibutuhkan hingga suara berkurang 60dB.
RT yang
ideal bervariasi tergantung ukuran dan material ruangan. Tetapi umumnya adalah
0,3 detik. Di dalam studio, RT untuk pidato yang baik adalah berkisar 0,2-05
detik, sedangkan untuk musik klasik sebaiknya berkisar 0,6-0,8 detik..
Dalam desain
studio, sebaiknya RT frekuensi mid sekitar 0,3 detik. Sedangkan untuk frekuensi
low dan high boleh lebih panjang sedikit. – Paul White
Speaker box
dengan dinding non-paralel (berhadapan tegak lurus) memiliki masalah yang lebih
sedikit dibandingkan dengan yang berbentuk persegi sempurna. Tetapi para
pembuat box menyukai box paralel karena penanganan dan konstruksinya lebih
mudah.
Bila harus membuat box dalam bentuk persegi sempurna, maka gunakan rasio
perbandingan dimensi box 0,62 : 1 : 1,62. Rasio ini adalah “RASIO EMAS” sejak
jaman purba. Rasio ini memastikan bahwa semua gelombang frekuensi suara akan
beresonansi sempurna di dalam box. – KBapps.com
Speaker
memproduksi beragam gelombang suara dengan bergerak 60 kali maju mundur
per-detik untuk menghasilkan frekuensi rendah, hingga 20.000 kali maju mundur
per-detik untuk menghasilkan frekuensi tinggi.
Ini adalah
kerja keras yang luar biasa, tetapi speaker melakukannya setiap kali memainkan
musik. Alat yang mengatur kerja speaker agar bergerak cepat dan bergerak lambat
adalah driver. Itu sebabnya mengapa boks speaker dilengkapi driver spesialis
treble untuk menggerakkan tweeter, dan driver spesialis bass untuk menggerakkan
sub-woofer. Jadi pekerjaan utama cross-over (X-over) adalah membagi-bagi
frekuensi dan mengirimkannya ke driver yang sesuai.
Tetapi
X-over bekerja lebih lagi. Driver speaker membutuhkan banyak bantuan. Mereka
sensitif terhadap beberapa frekuensi, sehingga proses ekualisasi (EQ) akan
sangat bermanfaat bagi mereka. Tweeter juga lebih sensitif dari woofer dan
butuh di-seimbangkan (balance) dengan woofer agar tidak terlalu keras. Karena
itu, tugas kedua X-over adalah untuk memanipulasi sinyal yang dikirimnya ke
driver sehingga :
-Sinyal
dalam frekuensi sesuai dengan tiap driver sehingga suara yang dihasilkan
maksimal
-Driver-driver
yang berdekatan berbagi tugas dengan sesuai (tweeter tidak mengambil jatah
frekuensi woofer, woofer tidak mengambil jatah frekuensi sub-woofer, dst.)
-Output
driver yang berbeda-beda diseimbangkan sehingga menghasilkan kekerasan sama.
Masih ada
lagi ! X-over mempengaruhi timing (waktu) bunyi driver sehingga sesuai dengan
bunyi driver lainnya. Sungguh sebuah kerja keras ! - www.aperionaudio.com
Crossover
membentuk sejumlah frekuensi untuk tiap driver speaker dengan tiga jenis filter
: Kapasitor, Koil (Induktor) dan Resistor. Mari kita lihat apa kerja
masing-masing filter ini.
Resistor :
Bila ampli mengirim 10 watt power ke 8 ohm tweeter, dan kita menempatkan 8 ohm
resistor secara seri di antaranya, maka power yang tiba di tweeter hanyalah 2,5
watt. Karena dengan resistor seri @ 8 ohm, maka tegangan akan menurun jadi 5
watt. Kemudian power sebesar 2,5 watt akan digunakan oleh resistor, jadi
tweeter hanya mendapatkan sisa tenaga 2,5 watt dari sumber 10 watt power ampli.
Sudah jelas kekerasan akan berkurang 6 dB (Ingat rumus : bila daya berkurang
separuh, maka terjadi penurunan 3 dB).
Kapasitor
dan Induktor : Sebuah kapasitor yang ditempatkan secara seri dengan speaker,
akan memblokir frekuensi rendah dan melewatkan frekuensi tinggi. Sebuah
induktor berfungsi sebaliknya. Blokir frekuensi akan terjadi secara
berangsur-angsur (roll-off) dalam bentuk penurunan 6dB/oktaf (1st
order), 12dB/oktaf (2nd order), atau 3rd order (18
dB/oktaf), atau yang curam 4th order (24 dB/oktaf). Karakter
penurunan ini dibedakan atas jenis Bessel, Butterworth, Linkwitz-Riley.
Butterworth terkenal lembut, Linkwitz-Riley memotong tajam, sedangkan Bessel
memiliki karakter phase-shift yang unik
Desain
crossover bukanlah hal yang mudah. Sangat-sangat sulit. Tetapi ingat rahasia
utama para desainer speaker “Bukan teori yang penting, tetapi bunyi speaker
yang penting”. Desainer bermain-main dengan berbagai tombol crossover hingga
menghasilkan bunyi yang diinginkan. Walaupun demikian, pengetahuan teori juga
mempengaruhi kelihaian bermain-main ini. Tetapi proses utamanya adalah secara
berulang-ulang “memainkan tombol - mendengarkan” hingga speaker kita mendapat
acungan jempol - aperionaudio.com dan ASG EAW.com
RMS (Root
Mean Square) dan PMPO (Peak Music Power Output) sama-sama menunjukkan power
rating, namun keduanya tidak dapat diperbandingkan. Selain tidak ada standard
pengukuran PMPO yang baku, metode pengukurannya juga berbeda-beda.
Namun sebagai
ancar-ancar biasanya power PMPO adalah mark up 20 sampai 40 kali lebih
besar dibandingkan power RMS. Jika tertulis 1000 W PMPO bisa saja power
sebenarnya sama dengan 25 W - 50 W RMS.
Pencantuman
power rating tentu saja untuk menunjukkan sampai dimana kemampuan tingkat
kebisingan yang bisa dihasilkan. Tentu ini hanyalah sebuah angka yang
menunjukkan kemampuan maksimum perangkat audio tersebut.
Jika
dianalogikan dengan mobil, ini tidak beda dengan catatan spesifikasi kecepatan
yang tertera dapat mencapai 220 km/jam. Namun apakah kecepatan maksimum
demikian bisa tercapai, adalah hal yang lain. Tentu bisa tercapai dengan syarat
kondisi-kondisi tertentu. Jalan aspal lebar dan mulus, tidak ada tanjakan,
mesin masih baru, bahan bakar dengan oktan tinggi, oli yang tepat, grip serta
tekanan ban ideal, suhu mesih ideal, berat mobil efisien, ringan dan ideal,
lalu cuaca harus cerah, tidak ada angin apalagi hujan dan yang penting lagi
pengemudinya harus punya nyali sekelas pembalap formula 1. Kalau tidak, mobil
paling pol dapat dipacu mencapai 140 km/jam dan ini juga sebenarnya
sudah mendebarkan.
Demikian
juga dengan sistem audio, dengan volume yang sedang-sedang saja dengan alunan
yang harmonis kiranya anda sudah cukup puas. Belum tentu anda tega meng-umbar
volume audio anda sekencang-kencangnya sampai kaca-kaca jendela rumah anda
pecah semua – disadur dari www.audiorakitan.com
Subwoofer
elektrostatik dikembangkan pertama kali tahun 1960 an oleh Ken Kreisel, untuk
mengatasi komplain pelanggan di toko high end “Miller Kreisel (MK)” yang
dimilikinya bersama Jonas Miller di Los Angeles. Para pelanggan komplain karena
mereka merasa kehilangan nada-nada rendah di speaker elektrostatik buatan MK.
Penggunaan
subwoofer untuk rekaman pertama kali dilakukan tahun 1973 dalam mixing album
Steely Dan “Pretzel Logic” dengan operator Roger Nichols. Subwoofer dipesan
oleh Walter Becker dan Donald Fagen dari tim Steely Dan. Sejak saat itu
Sattelite Subwoofer MK laris dipesan banyak studio rekaman dan digunakan
sebagai sistem referensi utama studio. Beberapa pelanggan sistem audio MK sistem
audio adalah rumah produksi audio film Dolby, DTS, dan THX.
Subwoofer
biasanya menampilkan nada 20 – 200 Hz melalui cone speakernya. Pemisahan stereo
sangat sulit didengarkan di subwoofer karena karakter nada low yang
omni-directional. Itu sebabnya Audio System biasanya hanya menjual satu
subwoofer + beberapa speaker mid high. Nada low hanya bisa terasa terpisah
dalam bentuk earphone - MKsoundsystem. com dan cramster.com
Ini sebuah
pertanyaan yang populer dan sulit dijawab dengan sangat tepat. Ada banyak
faktor berpengaruh seperti : power amplifier, jenis, dan ukuran box speaker.
Tetapi secara umum, dengan power yang cukup, dua buah akan berbunyi lebih
jernih dan menonjok lebih kuat karena kombinasi dua cone akan menghasilkan
tekanan udara lebih besar. Bagaimanapun juga, sub 21 inch akan bersuara lebih
deep (dalam) – Bill Crutchfield
Speaker
Double Voice Coil (DVC) adalah speaker dengan 2 gulungan coil di atas former
yang sama. Mereka diletakkan saling bertumpang-tindih dengan terminal yang
berbeda.
Keuntungan
utama speaker DVC adalah semata-mata di fleksibilitas pemasangan kabelnya.
Speaker DVC memiliki alternatif instalasi seri, paralel, dan independen.
Speaker DVC
lebih banyak digunakan di sistem Car/Home audio karena kebanyakan amplifier
audio tipe ini tidak dapat monobridge. Jadi kekuatan ampli dapat disatukan di
monobridge melalui instalasi speaker DVC.
Keuntungan
lainnya adalah speaker dapat diubah-ubah hambatannya. Bila tadinya speaker SVC
(Single Voice Coil) hambatannya 8 ohm, maka di speaker DVC (masing-masing Coil
4 ohm) dapat diubah jadi 2 ohm (bila sistem kabel paralel) atau menjadi 8 ohm
(bila sistem kabel seri).
Dengan dimungkinkannya
fleksibilitas kabel dan hambatan ini, maka kini dimungkinkan untuk merangkai
beberapa speaker menjadi satu dengan power yang sama, sehingga didapatkan
performa speaker yang lebih baik – JL Audio Inc.
Sistem
Surround sudah ada lebih dari 60 tahun. Jaman tahun 1930an film selalu
menggunakan 3 channel tabir suara (Left-Center-Right) hasil riset Bell Labs.
Pada tahun 1941 Disney dalam film Fantasia nya menyajikan tambahan speaker di
belakang. Jadi ada 4 speaker sekarang.
Sistem 4 channel
LCRS (Left-Center-Right-Mono Surround) meluas penggunaannya setelah Dolby
Stereo menjadi sistem standar film tahun 1960an.
Dengan
berkembangnya teknologi digital di tahun 1980an, jumlah surround channel
ditambah jadi dua dan ditambah subwoofer LFE (Low Frequency Effect). Kini
semuanya menjadi 6 channel dengan sistem Surround 5.1. Di akhir 1990an, Sony
telah menciptakan sistem surround 7.1.
Dalam
surround system, semua speaker di low-cut pada 80 Hz. Sedangkan LFE di high-cut
pada 120 Hz dengan penambahan headroom 10 dB.
Keuntungan
sistem surround dibandingkan sistem stereo 2 speaker adalah : tidak ada lagi
yang dinamakan sweet-spot (titik dimana suara terdengar paling jelas dan enak).
Seluruh ruangan menjadi sweet-spot sekarang.
Selain itu, penempatan
speaker tidak lagi menjadi krusial. Di sistem stereo, pergeseran speaker
sedikit saja akan membawa banyak perbedaan. Hal ini tidak terjadi di sistem
surround – Bobby Owsinski “Mastering Handbook”
Frekuensi
yang berbahaya bagi telinga kita adalah 2 – 20 kHz. Bila kita mendengarkan
frekuensi tersebut dengan level di atas 100 dB SPL terus menerus selama lebih
dari 2 jam, maka kita dapat mengalami hearing loss (tuli).
Kita dapat
menghindari hal ini dengan cara mengukur SPL speaker kita. Masalahnya adalah,
angka dB SPL yang muncul di SPL meter kita biasanya adalah angka total jumlah
dB dari seluruh frekuensi yang muncul.
Jadi kita
harus mengetahui cara untuk mengetahui berapa total SPL yang dihasilkan oleh
frekuensi berbahaya (2 kHz ke atas) tersebut, agar terhindar dari hearing loss.
Untuk
menjawab hal ini, maka gunakan fasilitas WEIGHTING di SPL meter. Ada tiga macam
weighting : C weighting (mencakup frekuensi 20 Hz – 20 kHz), A weighting
(mencakup frekuensi 1 kHz ke atas), Z weighting atau Flat (mencakup seluruh
frekuensi).
Jadi, jangan
lupa mengukur SPL A weighting untuk mengetahui seberapa berbahaya nya
sound yang kita hasilkan – disadur dari artikel YP Hadi Sumoro Kristianto
Mana
berbunyi lebih baik ? Speaker A dengan tanggapan frekuensi (frequency response)
45 Hz – 18kHz atau speaker B 20 Hz – 25kHz ? Faktanya adalah, data di atas sama
sekali tidak cukup untuk menggambarkan kualitas suara speaker. Mari kita lihat
lebih detil.
Hal yang paling
penting dari speaker bukannya lebar tanggapan frekuensi nya, tetapi
kemampuannya untuk mereproduksi semua suara pada level yang persis sama seperti
waktu suara itu direkam. Anda pasti tidak mau sang speaker merubah mix suara
yang direkam. Suara tersebut akan berbunyi tidak natural di speaker tersebut.
Angka
tanggapan frekuensi akan berbicara lebih banyak bila juga menyertakan angka
toleransi kekerasan (Amplitude tolerance) seperti contoh “40Hz–20kHz, +/- 3dB”.
Angka ini memperlihatkan bahwa penyimpangan suara yang terjadi antar
frekuensi adalah 3 desibel dari angka rata-rata tengah. Artinya, bisa jadi
frekuensi 100Hz berbunyi 10dB, frekuensi 1kHz berbunyi 12dB, frekuensi 1,3kHz
13dB, 6,3kHz 8dB dst. Penyimpangan yang terjadi tidak melebihi 3dB atau +
3dB.
Speaker
dengan angka berikut “40Hz-20kHz, +/- 8dB” sudah jelas kalah flat
dibandingkan speaker di atas – Paul Dicomo
Banyak orang
bertanya : “Dapatkah speaker saya menggunakan power ampli ini ?” atau “Apakah
power ampli ini akan menjebol speaker saya ?”.
Faktanya
adalah setiap speaker dapat dibunyikan oleh amplifier apa saja. Masalah akan
timbul waktu sang pengguna menjadi terlalu bernafsu. Saat itulah si ampli
dipaksa berbunyi sekeras-kerasnya hingga suara clipping (terdistorsi).
Kecuali kita
mendengar speaker dari jauh, maka kita tidak akan dapat mendengar distorsi
clipping tersebut. Terutama sekali bila SPL kita diatas 90dB, maka telinga kita
akan overload dan tidak dapat mendeteksi adanya distorsi clipping.
Perlu kita
ingat bahwa 1 watt power mampu membunyikan speaker sebesar 88dB dalam jarak 1
meter (SPL = 88 dB). Bagaimana halnya dengan ampli 10 watt ? 50 watt ? atau 500
watt sekaligus ? Tentu kita tidak dapat mendengar distorsi clipping dalam watt
power sebesar itu.
Agar mudah
mendengar clipping, mainkan lagu kesayangan anda dan menjauh dari speaker. Bila
perlu, matikan subwoofernya. Maka anda akan dapat mendengar bunyi clipping
tersebut - Babin Perry
Berapa total
SPL yang dihasilkan oleh 2 buah speaker @ 60dB ?
2 buah
sumber suara koheren (serupa / identik) dengan SPL yang sama hanya akan
menghasilkan peningkatan 3 dB. Jadi jawaban pertanyaan di atas adalah 63 dB
untuk total SPL dua buah speaker tersebut.
Hal ini
terjadi karena penambahan SPL tidak bersifat linear seperti 1+1 = 2, tetapi
bersifat logaritmik. Rumus lengkapnya tercantum di artikel asli Bapak Hadi
Sumoro.
Dengan rumus
logaritma yang sama, maka bila sebuah speaker 65 dB dijumlahkan dengan speaker
88 dB, maka total SPL yang dihasilkan hanyalah 88 dB. Makin banyak perbedaan
SPL antara 2 speaker, akan menghasilkan makin sedikitnya penambahan. Perbedaan
10 dB akan didominasi oleh speaker yang lebih keras. - disadur dari
artikel YP. Hadi Sumoro Kristianto
Tahukah
anda, bahwa pada awalnya box speaker tidak mempunyai tutup di belakang nya ?
Adalah DR.
Harry Ferdinand Olson di akhir tahun 1930 an yang menganjurkan bahwa speaker
harus mempunyai tutup di belakang kabinetnya agar suara yang out-phase dari
belakang speaker tidak bercampur dengan suara dari depan speaker.
DR Olson
juga adalah orang pertama yang mengemukakan tentang efek speaker Line Array
yang dapat mengarahkan suara melalui perbanyakan frekuensi, dalam bukunya
Acoustical Engineering di tahun 1957.

Beliau juga
memegang lebih dari 100 hak paten penemuan di berbagai bidang di antaranya :
tahun 1931 Paten Velocity Microphone, 1932 Paten Unidirectional Cardioid
Microphone, 1935 Paten Double Voice Coil Loudspeaker, 1940 Paten Multiple Flare
Horn, 1941 Paten Shotgun Microphone, 1942 Paten Multiple Loudspeakers, 1949
Paten Air Suspension Loudspeaker, 1950 Paten Synthetic Reverberation, 1950
Paten Functional Sound Absorbers, 1951 Paten Single Element Cardioid
Microphone, 1953 Paten Noise Discriminator - Threshold Type, 1958 Paten
Electronic Music Synthesizer (MARK II Sound Syntesizer), 1961Paten Speech
Analyzer, 1961 Electronic Sound Absorber, 1961 Paten Music Composing Machine,
1963 Paten Stereophonic Loudspeaker, 1964 Paten Stereophonic Disk System, dan
banyak lagi.
DR. Olson
juga menulis lebih dari 130 artikel dan buku yang hingga sekarang tetap
dijadikan dasar pegangan ahli-ahli akustik. Diantaranya bukunya adalah Elements
of Acoustical Engineering (1940), Dynamical Analogies (1942), Musical
Engineering (1952), Acoustical Engineering (1957), dan Music, Physics and
Engineering (1966).
Terima kasih
DR. Olson atas jasamu di dunia audio engineering - Wikipedia dan
TECnology Hall of Fame 2005.
Dalam
praktek sehari-hari, biasanya speaker FOH (Front of House) ditempatkan di depan
penonton - di kanan kiri panggung. Alasan utamanya adalah untuk mendapatkan
efek stereo yang baik.
Tetapi efek
stereo bukanlah hal yang utama diinginkan dalam setting live musik. Alasannya
adalah karena penonton kita tersebar dimana-mana (off center : tidak di
tengah). Menjadikan FOH kita stereo berarti memperlakukan penonton di sebelah
kiri dan sebelah kanan secara berbeda / tidak adil. Lain halnya dengan musik
rekaman, maka sound stereo adalah hal yang wajib ditampilkan.
Mengapa FOH
tidak kita tempatkan di samping kiri dan kanan penonton saja ? Atau di belakang
penonton kiri dan kanan ? Untuk menjawab hal ini, maka kita harus pertama-tama
mengingat bahwa telinga lebih mengarah ke samping dibandingkan ke depan. Lain
halnya dengan mata, mata menghadap ke depan secara langsung.
Mengingat
posisi telinga kita seperti ini, maka kita dapat mempertimbangkan untuk
menempatkan speaker FOH di samping kanan dan kiri penonton agak ke depan.
Rasanya kualitas suaranya akan lebih baik daripada menempatkannya speaker FOH
di depan penonton.
Biasanya
feedback juga akan berkurang karena speaker jauh dari panggung. Coba saja –
JS
Bila kita
menyelidiki dengan menggunakan software sound system atau perhitungan
matematika, kita akan mendapati bahwa sebuah subwoofer akan menyebarkan bunyi
secara omni (rata ke segala arah) dan bukan directional (terarah hanya ke arah
tertentu).
Tetapi
kenyataan di lapangan sangat berbeda. Banyak pakar audio mendapati bahwa
telinga mereka menangkap radiasi bunyi secara omni tidak terjadi pada
subwoofer. Bunyi di belakang subwoofer berbeda dengan bunyi di samping atau di
depannya.
Mengapa hal
ini terjadi ? Karena adanya frekuensi harmonik. Kita ingat bahwa selalu terjadi
dua frekuensi dalam sebuah bunyi tunggal : frekuensi fundamental dan frekuensi
harmonic. Misalnya bunyi frekuensi tunggal 90Hz. Suara 90Hz akan menghasilkan
frekuensi fundamental 90Hz sekaligus bunyi frekuensi harmonik 180Hz, 270Hz,
360Hz dst (kelipatan 90). Jadi telinga kita akan mendengar beberapa frekuensi
sekaligus bila nada tunggal 90Hz dibunyikan.
Frekuensi
fundamental 90Hz tadi akan tersebar secara omni. Tetapi frekuensi harmonik akan
tersebar tidak secara omni. Bisa berbentuk cardioid atau lainnya. Hasilnya kita
akan mendengar bunyi yang berbeda di depan atau samping atau belakang subwoofer
– Jeff Berryman
Salah satu
karakteristik udara adalah menyerap energi frekuensi tinggi (high). Makin
tinggi frekuensi makin besar serapan udara. Karena itu, semakin jauh dari
speaker, kekerasan nada-nada high biasanya menurun (attenuate).
Serapan
frekuensi ini akan semakin meningkat bila suhu udara semakin panas atau
kelembaban udara semakin berkurang. Serapan frekuensi high ini tidak terlalu
terasa bila dalam ruangan (indoor) karena jarak tidak terlampau jauh. tetapi
akan sangat terasa di outdoor. Penelitian kami memperlihatkan bahwa frekuensi
10kHz berkurang 14dB pada jarak 91,4 meter.
Pesan kami :
jangan menaikkan volume frekuensi High bila hal ini terjadi. Menaikkan volume
akan memaksa amplifier dan speaker bekerja lebih keras. Untuk mengatasi hal
ini, gunakan speaker tambahan (speaker delay) di area yang kehilangan bunyi
High ini - ElectroVoice
Thyristor - TRIAC dan DIAC
Thyristor - TRIAC dan
DIAC
Published on Saturday, 26 January
2013 16:21
Written by Aswan Hamonangan
Hits: 808
Thyristor
berakar kata dari bahasa Yunani yang berarti ‘pintu'. Dinamakan demikian
barangkali karena sifat dari komponen ini yang mirip dengan pintu yang dapat
dibuka dan ditutup untuk melewatkan arus listrik. Ada beberapa komponen yang
termasuk thyristor antara lain PUT (programmable uni-junction
transistor), UJT (uni-junction transistor ), GTO (gate
turn off switch), photo SCR dan sebagainya. Namun pada kesempatan
ini, yang akan kemukakan adalah komponen-komponen thyristor yang dikenal
dengan sebutan SCR (silicon controlled rectifier), TRIAC
dan DIAC. Pembaca dapat menyimak lebih jelas bagaimana prinsip kerja
serta aplikasinya.
Struktur
Thyristor
Ciri-ciri
utama dari sebuah thyristor adalah komponen yang terbuat dari bahan
semiconductor silicon. Walaupun bahannya sama, tetapi struktur P-N junction
yang dimilikinya lebih kompleks dibanding transistor bipolar atau MOS. Komponen
thyristor lebih digunakan sebagai saklar (switch) ketimbang sebagai
penguat arus atau tegangan seperti halnya transistor.
Struktur
dasar thyristor adalah struktur 4 layer PNPN seperti yang ditunjukkan
pada gambar-1a. Jika dipilah, struktur ini dapat dilihat sebagai dua buah
struktur junction PNP dan NPN yang tersambung di tengah seperti pada gambar-1b.
Ini tidak lain adalah dua buah transistor PNP dan NPN yang tersambung pada
masing-masing kolektor dan base. Jika divisualisasikan sebagai transistor Q1
dan Q2, maka struktur thyristor ini dapat diperlihatkan seperti pada gambar-2
yang berikut ini.
Terlihat di
sini kolektor transistor Q1 tersambung pada base transistor Q2 dan sebaliknya
kolektor transistor Q2 tersambung pada base transistor Q1. Rangkaian transistor yang demikian
menunjukkan adanya loop penguatan arus di bagian tengah. Dimana diketahui bahwa
Ic = b Ib, yaitu arus kolektor adalah penguatan dari arus
base.
Jika
misalnya ada arus sebesar Ib yang mengalir pada base transistor Q2,
maka akan ada arus Ic yang mengalir pada kolektor Q2. Arus kolektor
ini merupakan arus base Ib pada transistor Q1, sehingga akan muncul
penguatan pada pada arus kolektor transistor Q1. Arus kolektor transistor Q1
tdak lain adalah arus base bagi transistor Q2. Demikian seterusnya sehingga
makin lama sambungan PN dari thyristor ini di bagian tengah akan mengecil dan
hilang. Tertinggal hanyalah lapisan P dan N dibagian luar.
Jika keadaan
ini tercapai, maka struktur yang demikian todak lain adalah struktur dioda PN
(anoda-katoda) yang sudah dikenal. Pada saat yang demikian, disebut bahwa
thyristor dalam keadaan ON dan dapat mengalirkan arus dari anoda menuju katoda
seperti layaknya sebuah dioda.
Bagaimana
kalau pada thyristor ini kita beri beban lampu dc dan diberi suplai tegangan
dari nol sampai tegangan tertentu seperti pada gambar 3. Apa yang terjadi pada
lampu ketika tegangan dinaikkan dari nol. Ya betul, tentu saja lampu akan tetap
padam karena lapisan N-P yang ada ditengah akan mendapatkan reverse-bias
(teori dioda). Pada saat ini disebut thyristor dalam keadaan OFF karena
tidak ada arus yang bisa mengalir atau sangat kecil sekali. Arus tidak dapat
mengalir sampai pada suatu tegangan reverse-bias tertentu yang
menyebabkan sambungan NP ini jenuh dan hilang. Tegangan ini disebut tegangan
breakdown dan pada saat itu arus mulai dapat mengalir melewati
thyristor sebagaimana dioda umumnya. Pada thyristor tegangan ini disebut tegangan
breakover Vbo.
SCR
Telah
dibahas, bahwa untuk membuat thyristor menjadi ON adalah dengan memberi arus
trigger lapisan P yang dekat dengan katoda. Yaitu dengan membuat kaki gate pada
thyristor PNPN seperti pada gambar-4a. Karena letaknya yang dekat dengan
katoda, bisa juga pin gate ini disebut pin gate katoda (cathode gate).
Beginilah SCR dibuat dan simbol SCR digambarkan seperti gambar-4b. SCR dalam
banyak literatur disebut Thyristor saja.
Melalui kaki
(pin) gate tersebut memungkinkan komponen ini di trigger menjadi ON, yaitu
dengan memberi arus gate. Ternyata
dengan memberi arus gate Ig yang semakin besar dapat
menurunkan tegangan breakover (Vbo) sebuah SCR. Dimana
tegangan ini adalah tegangan minimum yang diperlukan SCR untuk menjadi ON.
Sampai pada suatu besar arus gate tertentu, ternyata akan sangat mudah membuat
SCR menjadi ON. Bahkan dengan tegangan forward yang kecil sekalipun.
Misalnya 1 volt saja atau lebih kecil lagi. Kurva tegangan dan arus dari sebuah
SCR adalah seperti yang ada pada gambar-5 yang berikut ini.
Pada gambar
tertera tegangan breakoverVbo, yang jika tegangan
forward SCR mencapai titik ini, maka SCR akan ON. Lebih penting lagi adalah
arus Ig yang dapat menyebabkan tegangan Vbo turun menjadi lebih kecil. Pada
gambar ditunjukkan beberapa arus Ig dan korelasinya terhadap tegangan
breakover. Pada datasheet SCR, arus trigger gate ini sering ditulis dengan
notasi IGT (gate trigger current). Pada gambar ada
ditunjukkan juga arus Ih yaitu arus holding yang
mempertahankan SCR tetap ON. Jadi agar SCR tetap ON maka arus forward
dari anoda menuju katoda harus berada di atas parameter ini.
Sejauh ini
yang dikemukakan adalah bagaimana membuat SCR menjadi ON. Pada kenyataannya,
sekali SCR mencapai keadaan ON maka selamanya akan ON, walaupun tegangan gate
dilepas atau di short ke katoda. Satu-satunya cara untuk membuat SCR
menjadi OFF adalah dengan membuat arus anoda-katoda turun dibawah arus Ih
(holding current). Pada gambar-5 kurva I-V SCR, jika arus forward berada
dibawah titik Ih, maka SCR kembali pada keadaan OFF. Berapa besar
arus holding ini, umumnya ada di dalam datasheet SCR.
Cara membuat
SCR menjadi OFF tersebut adalah sama saja dengan menurunkan tegangan
anoda-katoda ke titik nol. Karena inilah SCR atau thyristor pada umumnya tidak
cocok digunakan untuk aplikasi DC. Komponen ini lebih banyak digunakan untuk
aplikasi-aplikasi tegangan AC, dimana SCR bisa OFF pada saat gelombang tegangan
AC berada di titik nol.
Ada satu
parameter penting lain dari SCR, yaitu VGT. Parameter ini
adalah tegangan trigger pada gate yang menyebabkab SCR ON. Kalau dilihat dari
model thyristor pada gambar-2, tegangan ini adalah tegangan Vbe
pada transistor Q2. VGT seperti halnya Vbe, besarnya
kira-kira 0.7 volt. Seperti contoh rangkaian gambar-8 berikut ini sebuah SCR
diketahui memiliki IGT = 10 mA dan VGT = 0.7 volt. Maka
dapat dihitung tegangan Vin yang diperlukan agar SCR ini ON adalah
sebesar :
Vin
= Vr + VGT
Vin
= IGT(R) + VGT = 4.9 volt
TRIAC
Boleh
dikatakan SCR adalah thyristor yang uni-directional, karena ketika ON hanya
bisa melewatkan arus satu arah saja yaitu dari anoda menuju katoda. Struktur
TRIAC sebenarnya adalah sama dengan dua buah SCR yang arahnya bolak-balik dan
kedua gate-nya disatukan. Simbol TRIAC ditunjukkan pada gambar-6. TRIAC
biasa juga disebut thyristor bi-directional.
TRIAC
bekerja mirip seperti SCR yang paralel bolak-balik, sehingga dapat melewatkan
arus dua arah. Kurva karakteristik dari TRIAC adalah seperti pada gambar-7
berikut ini.
Pada
datasheet akan lebih detail diberikan besar parameter-parameter seperti Vbo
dan -Vbo, lalu IGT dan -IGT,
Ih serta -Ih dan sebagainya. Umumnya besar
parameter ini simetris antara yang plus dan yang minus. Dalam perhitungan
desain, bisa dianggap parameter ini simetris sehingga lebih mudah di hitung.
DIAC
Kalau
dilihat strukturnya seperti gambar-8a, DIAC bukanlah termasuk keluarga
thyristor, namun prisip kerjanya membuat ia digolongkan sebagai thyristor. DIAC
dibuat dengan struktur PNP mirip seperti transistor. Lapisan N pada transistor
dibuat sangat tipis sehingga elektron dengan mudah dapat menyeberang menembus
lapisan ini. Sedangkan pada DIAC, lapisan N di buat cukup tebal sehingga
elektron cukup sukar untuk menembusnya. Struktur DIAC yang demikian dapat
juga dipandang sebagai dua buah dioda PN dan NP, sehingga dalam beberapa
literatur DIAC digolongkan sebagai dioda.
Sukar
dilewati oleh arus dua arah, DIAC memang dimaksudkan untuk tujuan ini. Hanya
dengan tegangan breakdown tertentu barulah DIAC dapat menghantarkan
arus. Arus yang dihantarkan tentu saja bisa bolak-balik dari anoda menuju
katoda dan sebaliknya. Kurva karakteristik DIAC sama seperti TRIAC, tetapi yang
hanya perlu diketahui adalah berapa tegangan breakdown-nya.
Simbol dari
DIAC adalah seperti yang ditunjukkan pada gambar-8b. DIAC umumnya dipakai
sebagai pemicu TRIAC agar ON pada tegangan input tertentu yang relatif tinggi.
Contohnya adalah aplikasi dimmer lampu yang berikut pada gambar-9.
Jika
diketahui IGT dari TRIAC pada rangkaian di atas 10 mA dan VGT
= 0.7 volt. Lalu diketahui juga yang digunakan adalah sebuah DIAC dengan Vbo
= 20 V, maka dapat dihitung TRIAC akan ON pada tegangan :
V = IGT(R)+Vbo+VGT
= 120.7 V
Pada
rangkaian dimmer, resistor R biasanya diganti dengan rangkaian seri resistor
dan potensiometer. Di sini kapasitor C bersama rangkaian R digunakan untuk
menggeser phasa tegangan VAC. Lampu dapat diatur menyala redup dan
terang, tergantung pada saat kapan TRIAC di picu.
Langganan:
Postingan (Atom)